SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
A. Hakikat, Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Munib, 2011). Selanjutnya fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang tercantum di dalam UU No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
B. Lembaga Pendidikan
Kelembagaan, program dan pengelolaan pendidikan pada dasarnya merupakan bagian dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu terlebih dahulu perlu diketahui tentang apa yang dimaksud dengan sistem pendidikan. Untuk memahami bagaimana keberadaan masing-masing komponen yang sebagai bagian dari keseluruhan sistem pendidikan nasional, maka berikut ini hendak dibahas mengenai jalur, jenjang dan jenis pendidikan.
1. Jalur Pendidikan
Untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan nasional, maka kegiatan pendidikan dilaksanakan melalui tiga jalur sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 13 (1) yang berbunyi: “Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal yang salng dapat melengkapi dan memperkaya”. Ayat 1 tersebut dilanjutkan dengan ayat 2 yang berbunyi: “Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh. Adapun jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus. Penjelasan mengenai pendidikan nonformal dapat disimak pada pasal 26 (1) (2) dan (3). Pasal 26 (1) pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pasal 26 (2) pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Pasal 26 (3) pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Untuk pendidikan informal selanjutnya diatur dalam pasal 27 (1), (2) dan (3) yang selengkapnya berbunyi: Pasal 27 (1) Jenjang pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Pasal 27 (2) Hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar pendidikan. Selanjutnya pasal 27 (3) menyatakan bahwa ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
2. Jenjang Pendidikan
Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang akan dikembangkan. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi (UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 14).
a. Pendidikan dasar
Pendidikan dasar merupakan pendidikan yang bisa memberikan bekal untuk hidup dalam bermasyarakat berupa sikap, pengetahuan dan keterampilan dasar (Suardi, dkk, 2016). Jenjang pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah (Pasal 17 (1)), pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat (Pasal 17 (2)).
b. Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah yang lamanya tiga tahun sesudah pendidikan dasar dan diselenggarakan di SLTA (sekolah lanjut tingkat atas) atau satuan pendidikan yang sederajat (Suardi, dkk, 2016). Adapun jenjang pendidikan menengah diatur dalam pasal 18 (1,2,3, dan 4) yang berturut-turut dijelaskan sebagai berikut. Ayat (1) pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar; (2) pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan; (3) pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat; (4) ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana yang dimaksud lebih lanjut diatur dengan peraturan pemerintah (Munib, 2011). c. Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan lanjutan dari pendidikan menengah, yang di selenggarakan untuk peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan tinggi juga berfungsi sebagai jembatan antar pengembangan bangsa dan kebudayaan nasional dengan perkembangan internasional. Untuk itu dengan tujuan kepentingan nasional, pendidikan tinggi secara terbuka dan selekitif mengikuti perkembangan kebudayaan yang terjadi diluar Indonesia untuk diambil manfaatnya bagi pengembangan bangsa dan kebudayaan Indonesia (Suardi, dkk, 2016).
3. Jenis Pendidikan
Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus (pasal 15). Pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan pascasarjana yang diarahkan terutama pada
penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu. Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Lain lagi dengan pendidikan vokasi yakni pendidikan tinggi yang mempersiapkan karena peserta didik untuk memiliki pekerjaan denga keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana (Munib, 2008). Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/ menjadi ahli ilmu agama. Selanjutnya pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah (Munib, 2008).
C. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pendidikan dikembangkan berdasarkan kompetensi dasar (competencybased curriculum) dalam konsep ini sidi mengatakan bahwa kurikulum disusun berdasarkan kemampuan dasar minimal yang harus dikuasai seorang peserta didik setelah yang bersangkutan menyelesaikan satu unit pelajaran, satu satuan waktu dan satu satuan pendidikan (Suardi, dkk, 2016). Kurikulum sebagai suatu rancangan pendidikan yang mempunyai kedudukan strategis dalam seluruh kegiatan pendidikan. Hal ini senada dikatakan oleh Sukmadinata (2006) bahwa banyak pihak menganggap kurikulum sebagai real yang menentukan akan kemana pendidikan diarahkan. Maka konsep dasar kebijakan kurikulum perlu dikaji dan dipahami lebih dalam. Kurikulum berasal dari kata curriculum yang berarti lintasan untuk balap kereta kuda yang biasa dilakukan oleh bangsa Romawi pada zaman kaisar Gaius Julius Caesar di abad pertama di tahun masehi. Beragam pengertian selalu akan menampilkan hal-hal yang berbeda, bahkan sering pula bertentangan. Namun, pada dasarnya sama sebagai bentuk upaya untuk memberikan atau menggali pengetahuan, pengalaman yang ada dalam diri masing-masing peserta didik agar mampu menghadapi masa depan dengan lebih gemilang dengan materi, metode, fasilitas yang telah ada (Suardi, 2016). Sementara itu, Mochtar Buchori (Suardi, 2016) mengatakan bahwa kurikulum sebagai blue print (cetak biru) sebagai suatu penggambaran terhadap sosok manusia yang diharapkan akan tumbuh setelah menjalani semua proses pendidikan, pengajaran dan pelatihan yang digariskan dalam kurikulum. Kurikulum dapat dilihat dalam tiga dimensi yaitu, sebagai ilmu (curriculum as a body of knowledge), sebagai sistem (curriculum as a system) dan sebagai rencana (curriculum as a plan). Kurikulum sebagai ilmu dikaji konsep, landasan, asumsi, teori, model, praksis, prinsip-prinsip tentang kurikulum. Kurikulum sebagai sistem dijelaskan kedudukan kurikulumn dalam hubungannya dengan sistem dan bidang lain, komponen-komponen, kurikulum berbagai jalur, jenjang, jenis pendidikan, manajemen kurikulum. Ketentuan yang terkait dengan kurikulum secara garis besar diatur dalam pasal 36, 37 dan 38 UU No. 20/2003. Pasal 36 (1) dinyatakan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pada ayat (2) dikatakan bahwa kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diverdifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi, daerah dan pesrta didik. Sedangkan pada ayat (3) kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan; (a) peningkatan iman dan takwa; (b) peningkatan akhlak mulia; (c) peningkatan potensi, kecerdasan dan minat peserta didik; (d) keragaman potensi daerah dan nasional; (e) tuntutan pembangunan daerah dan nasional; (f) tuntutan dunia kerja; (g) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; (h) agama; (i) dinamika perkembangan global dan (j) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Pasal 37 (1) menyatakan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: (a) pendidikan agama, (b) pendidikan kewarganegaraan, (c) bahasa, (d) matematika, (e) ilmu pengetahuan alam, (f) ilmu pengetahuan sosial, (g) seni dan budaya, (h) pendidikan jasmani dan olah raga, (i) keterampilan/ kejuruan dam (j) muatan lokal. Selanjutnya dilengkapi dengan pasal 38 (1), (2), (3) dan (4) yang selengkapnya berbunyi: (1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh pemerintah; (2) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/ madrasah di bawah koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan atau Kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah; (3) Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program
studi; (4) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.